maka jawabku, itu sudah berlalu [kuno]
sesungguhnya yang diketahui anak jaman sekarang, hanyalah
kemudahan mencari dirham [uang][1]
A. Pendahuluan
Sebagian orang masih memandang perlunya kafa’ah walaupun
keberadaannya tidak berpengaruh atas keabsahan pernikahan. Kufu atau kafa’ah
yang bermakna keserasian, kesetaraan atau keselarasan dalam menentukan calon
pendamping adalah hak yang boleh dijadikan tolok ukur keluarga pengantin
perempuan dalam menentukan calonnya. Sementara bagi laki-laki kafa’ah tidak
diperlukan sehingga dalam literature fikih dinyatakan bahwa yang dapat
menggugurkan keharusan adanya kafa’ah ini adalah keluarga dan calon pengantin
perempuan.
B.
Landasan Hukum Kafaah
Perkawinan adalah langkah awal pembentukan sebuah keluarga
yang membutuhkan pasangan yang serasi dan memiliki keterpaduan dalam merangkai
hubungan diantara mereka serta segenap keluarga mereka. Sehingga jika keduanya
berasal dari kelas atau golongan yang setara, dikawatirkan akan terjadi
kesulitan dalam mewujudkan hubungan yang harmonis yang pada akhirnya berujung
pada bubarnya perkawinan.
Kalangan yang menganggap pentingnya kafa’ah mendasarkan
pendapatnya pada ;
1.
Hadits Nabi dari Ali RA yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan
al-Hakim;“Tiga hal yang jangan ditunda [1]shalat jika telah masuk
waktunya,[2]jenazah jika sudah tiba, dan [3] gadis yang sudah mendapatkan jodoh
yang sepadan”.
2.
Hadits Nabi dari Jabir yang diriwayatkan oleh Daruquthny dan
Baihaqi: “Jangan nikahkan wanita kecuali dengan orang- orang yang sekufu,
jangan menikahkan mereka kecuali wali mereka, dan tiada maskawin di bawah 10
dirham”
3.
Hadits Nabi dari Aisyah dan Umar yang diriwayatkan oleh
al-Hakim:“Aku akan mencegah perkawinan orang- orang yang memiliki nasab
kecuali dengan pasangan yang sepadan”
Serta masih banyak hadits-hadits lain yang mengharuskan
adanya kafa’ah sehingga pensyaratan kafa’ah dalam pernikahan ini menjadi
pendapat jumhur termasuk madzhab empat. Sedang yang tidak mensyaratkannya
antara lain ats-Tsauri, Hasan Bashri, dan al-Karkhi (Hanafiyah), adapun
dasarnya adalah sabda Nabi “Manusia itu sama seperti jajaran gigi, tidak ada
keutamaan bagi orang arab maupun ajam [selain arab]. Sesungguhnya keutamaan itu
terletak pada ketakwaannya”. Serta fakta sejarah yang mencerminkan kesetaraan
sesama muslim yang diajarkan oleh Nabi. Salah satunya adalah menikahnya seorang
mantan budak [Bilal bin Rabah] dengan seorang perempuan merdeka dari kaum
anshar.
C.
Ukuran Kafaah
Sebagaimana Syafi’i, ukuran kesepadanan ini dilihat dari
lima hal, yaitu ;
1. Agama [pengamalannya]
2. Status [merdeka/budak]
3. Nasab [asal usul] dan Hasab [sifat pendahulu]
4. Profesi
5. Kondisi fisik dan mental
Dalam literature fikih dewasa ini dinyatakan bahwa kafa’ah
dapat dinilai dari adapt istiadat yang berlaku, dan hanya menjadi hak perempuan
dan walinya sehingga jika suami tidak sepadan dan perempuan belum hamil,
mereka[perempuan dan wali] berhak membatalkan pernikahan [fasakh] sebagaimana
diungkapkan oleh oleh ulama lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar